Minggu, 27 Desember 2009

Fakta Change Management Sebelum Masehi

Waktu adalah sebuah variabel yang terprediksi. Variable waktu selalu berjalan konstan dan tidak terpengaruh oleh variabel lain apapun. Justru variabel waktu yang mempengaruhi variabel yang lain. Diantara perubahan variabel waktu, perubahan-perubahan variabel yang lain terjadi, bisa konstan bahkan acak. Perubahan konstan artinya seiring perubahan waktu maka perubahan itu bisa diprediksi, sedangkan perubahan acak sama sekali tidak mampu kita prediksikan hanya sang pencipta yang mengetahui apa yang akan terjadi. Namun dengan kehebatan manusia, manusia mampu melakukan pendekatan yang jitu untuk memprediksi perubahan itu.

Pendekatan itulah bagian dari manajemen perubahan. Tiap perubahan dari waktu ke waktu yang disebut fase dapat dimanajemen sehingga menghasilkan perubahan yang terprediksi dengan hasil akhir sesuai yang diharapkan.

Demikian pula kehancuran dan kejayaan adalah sebuah fase perubahan. Di antara pergantian fase itu ada jembatanya yaitu krisis. Maka perubahan adalah buah dari krisis. Tiap krisis mengandung berkah dan syarat makna, Krisis itu yang akan membedakan orang-orang yang beriman dan organisasi-organisasi yang berkompeten yang mampu mengambil hikmah dalam setiap krisis yang dialami bahkan mampu memanajemen krisis kearah perubahan yang lebih baik.

Sosok agen perubahan di masa sebelum masehi pada dasarnya telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rosul beserta para sahabat. Nabi dan Rasul selalu diutus ke sebuah umat dalam kondisi kesesatan bahkan sulit diajak untuk berubah, sehingga di situ lah para Nabi dan Rasul memainkan perannya sebagai seorang “Agen Perubahan”.

Bilal RA, seorang budak dengan kemauan berubah dan ketidaktakutan terhadap perubahan menjadikannya seorang yang sangat mulia, meskipun krisis yang dialami adalah penyiksaan lahir dan batin. Sehingga sebagai balasan kemuliaannya terompah Bilal sudah ada di surga walaupun beliau masih hidup di dunia.

Sebaliknya Abu Lahab dkk, keengganannya melewati krisis menyebabkannya dilaknat Allah swt, mereka enggan berubah karena takut melepaskan pengaruh dan kekuasannya di Mekah.

Nabi Yusuf as, jika kita saksikan kisah hidupnya di dalam Al Qur’an, sepanjang hidupnya adalah krisis, namun di akhirnya adalah kemenangan yang nyata.

Dan sekali lagi sebaliknya Bani Israil, keengganannya melewati krisis yang menjadikan Allah menenggelamkan Fir’aun berakhir dengan tragis. Mereka dihukum dengan terdampar di Padang Tih selama empat puluh tahun. Karena mereka menolak untuk berjuang masuk ke tanah yang dijanjikan, Palestina (QS Al Ma’idah 21-24).

Pada hakikatnya krisis adalah gejala atas sesuatu yang tidak berjalan dengan baik dalam tubuh sebuah masyarakat. Krisis bisa pula dikatakan keadaan dimana terbentang jurang antara kenyataan dan harapan.

Pelaku perubahan selalu minoritas
Nabi Musa AS adalah kisah yang paling fenomenal, bagaimana sebuah perubahan terjadi. Fenomenal dari musuh yang dihadapi, jumlah pelakunya, dan hasil akhirnya. Yaitu bahwa Nabi Musa as hanya seorang diri dibantu saudaranya Nabi Harun AS menghancurkan kekuasaan yang terjahat dan terkuat sepanjang sejarah, Fir’aun. Selain itu banyak lagi peristiwa yang tercatat dalam sejarah yang menjelaskan bahwa pelaku perubahan jumlahnya selalu sedikit. Keyakinan ini pula yang membawa pasukan Thalut mengalahkan diktator bengis Jalut yang jumlahnya banyak dan kuat. Padahal waktu itu sebagian besar dari pasukan Thalut telah desersi karena tidak taat kepada larangan Thalut untuk tidak minum air di sungai yang dilewati. Dan mereka pun berdo’a, ”betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah” (Al Baqarah: 249). Do’a inilah yang menjadi sunatullah dalam sebuah proses perubahan.

Sejarawan besar Amerika, Arnold Toynbee, pernah menyebutkan bahwa perubahan selalu dimulai oleh sekelompok kecil dalam masyarakat yang ia sebut creative minority. Dalam ilmu manajemen juga dikenal Hukum Paretto yang menyebutkan bahwa delapan puluh persen peran dalam sebuah organisasi dijalankan oleh dua puluh persen orang di organisasi tersebut. Dan sebaliknya, delapan puluh persen orang hanya menjalankan dua puluh persen peran di organisasi tersebut.

Selain itu, dalam teori tentang lapisan masyarakat, konteks perubahan yang sering dijadikan ”doktrin” oleh para aktivis gerakan disebutkan bahwa ada tiga lapisan dalam piramida masyarakat secara politik;
1. Golongan yang sedikit dan menentukan arah (kebijakan) masyarakat karena mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan politik, yaitu golongan elit. Kekuasaan politik ini akan kuat apabila ia ditunjang oleh kekuatan material dan intelektual sekaligus.
2. Grass root atau golongan alit, yaitu golongan masyarakat kebanyakan yang menjadi objek kebijakan golongan elit. Mereka biasanya adalah golongan yang terlemahkan (mustdh’afin) karena ketidakadilan secara struktural yang ada di masyarakat.
3. middle class. Pada dasarnya golongan ketiga ini adalah masyarakat biasa, tetapi mereka terkuatkan. Baik berupa kekuatan intelektual maupun kekuatan material. Dan kekuatan tersebut bukan sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang diproses. Golongan middle class secara politik adalah kekuatan laten. Kekuatan tersimpan yang disebabkan kekuatan materi dan/atau intelektual yang mereka miliki. Dalam sejarah mereka lah yang sering memainkan peran dalam perubahan. Yang paling mencolok adalah revolusi Perancis 1789. Saat itu golongan intelektual yang dimotori oleh Voltaire, Rosseau, dan Montesquie berkolaborasi dengan golongan pedagang yang disebut golongan borjuis untuk mengakhiri kekuasaan diktator Louis XIV.
Dan yang seringkali menjadi hambatan signifikan dalam perubahan adalah jika middle class ini tidak tercerahkan. Karena mereka telah hidup mapan mereka menjadi nyaman dengan kekuatan yang dimiliki sehingga memilih status quo. Akibatnya mereka menjadi buta dan tuli terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Yang dimaksud pencerahan adalah kesadaran bahwa mereka harus bermanfaat bagi orang lain dan mereka memiliki tanggung jawab atas kekuatan, harta ataupun ilmu yang mereka miliki akan kemaslahatan masyarakatnya.

Artinya perubahan bukan lah monopoli middle class sebagai pelopornya. Lebih tepat jika dikatakan bahwa middle class adalah akselerator perubahan yang signifikan.

Selain tersebut di atas, kualitas selalu berbanding terbalik dengan kuantitas. Banyak dalam Al Qur’an ayat yang mengidentikan jumlah yang sedikit dengan kualitas yang baik seperti ”sedikit di antara mereka yang mengambil pelajaran”, ”sedikit di antara mereka yang bersyukur”, ”sedikit di antara mereka yang berpikir”, dan sebagainya. Dan sebaliknya, banyak ayat yang mengidentikan jumlah yang banyak dengan kualitas yang rendah, seperti kisah pasukan Thalut yang sebagian besarnya tumbang di tengah jalan.

Begitu pun yang diungkap dalam hadits tentang kedaan umat Islam di akhir zaman yang jumlahnya sangat banyak tetapi ibarat buih karena dijangkiti penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Juga kalau kita pelajari sirah nabawiyah dan perjuangan setelahnya akan kita dapati bahwa hampir dalam semua peperangan jumlah pasukan kaum muslimin lebih sedikit dibandingkan musuhnya. Kecuali dalam satu peperangan yaitu Perang Hunain, yang justru pada perang itu pasukan kaum muslimin nyaris kalah.

Isyarat akan kekuatan orang-orang yang sedikit secara gamblang disampaikan dalam surat Al Anfaal ayat 65, ”Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir.”

Lalu mengapa orang-orang berkualitas selalu sedikit? Jawabannya karena mereka tumbuh dalam krisis dan hanya sedikit orang yang mau masuk dan menjadi subjek krisis tersebut. Karena begitu seseorang memilih untuk menjadi berkualitas artinya ia telah memilih jalan yang mendaki dan sukar (al aqabah). Dan mengapa mereka memilihnya? Karena dengan jalan itulah mereka termasuk dalam golongan kanan (QS. Al Balad: 11-18).

Pada hakikatnya kemenangan atas perubahan adalah sesuatu yang Allah SWT janjikan. Surat An Nuur ayat 55, ”Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Jadi formulanya sangat sederhana. Kemenangan, perubahan menuju perbaikan, dan kejayaan hanyalah bagi mereka yang mengerjakan kebajikan (beramal soleh).

Umar bin Khattab ra dalam sebuah atsar pernah menyampaikan, bahwa musibah besar terjadi di sebuah negeri apabila kekuatan di tangan orang-orang jahat dan orang-orang baiknya dalam kondisi lemah. Contohnya adalah puncak kehancuran yang terjadi pada zaman Fir’aun, di mana kekuatan-kekuatan menjelema berkolaborasi dalam satu kekuatan kejahatan. Kekuatan itu sendiri diwakili oleh tiga icon yaitu Qarun, simbol kekuatan harta. Hamman, simbol kekuatan intelektual. Serta Fir’aun sendiri yang merupakan simbol kekuatan politik dan militer yang sekaligus menghimpun itu semua.

Begitu pun sebaliknya saat kekuatan itu di tangan orang-orang yang baik seperti di zaman para sahabat. Di mana kekuatan intelektual diwakili oleh sahabat seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, serta Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Kekuatan ekonomi diwakili oleh Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ’Auf. Serta kekuatan politik dan militer yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar, dan Khalid bin Walid radiyallahu’anhum. Dan uniknya, sebagian besar sahabat juga menguasai bidang yang lain hampir sama baiknya. Mereka adalah para pendekar yang tangguh, cendikiawan yang cemerlang, bisnisman handal, suami yang romantis, dan ayah yang lembut sebagaimana mereka adalah ahli ibadah yang zuhud.

Maka kunci percepatan sebuah gerakan perubahan adalah bagaimana menyatukan manusia-manusia besar ini sekaligus menciptakan lagi manusia-manusia besar yang lain menjadi sebuah tim perubahan yang solid.

Kesimpulan :

Terbukti bahwa perubahan telah terjadi pada masa sebelum masehi, yang dicontohkan oleh para nabi dan rosul, khususnya Rosululloh Muhammad SAW beserta para sahabatnya.
ciri dari subjek dalam sebuah krisis/perubahan adalah;
1. Relatif sedikit jumlahnya,
2. Memiliki kekuatan (intelektual dan material), dan kuncinya; tercerahkan.
3. Dan satu hal lagi yang akan melipatgandakan kekuatannya; organisasi.

Belajar dari ilustrasi di atas 3 hal yang harus kita miliki dalam melakukan perubahan adalah :
1. Paradigma yang positif tentang perubahan.
2. Menjadikan diri kita sebagai subjek bukan objek dari perubahan.
3. Bagaimana kita, para pelaku, memanajemen krisis agar perubahannya menuju arah yang lebih baik.

Demikian semoga bermanfaat. Akhir kata :

Seorang pemimpin perubahan yang baik dalam hatinya senantiasa berdo’a sebagaimana di ungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib RA ;

”Ya Allah letakanlah dunia di tangan ku, dan jauhkanlah ia dari hatiku”.

Semoga kita menjadi manusia-manusia besar, agen perubahan sejati yang di hatinya hanya ada akhirat, dengan dunia didalam genggaman tangan. Dan semoga hati kita selalu bertemu, jiwa kita berkumpul dalam satu gerak karena ketaatan dan kecintaan kepada sang Pencipta, teladannya, dan umatnya. Amin

0 komentar:

Posting Komentar

Tu comentario será moderado la primera vez que lo hagas al igual que si incluyes enlaces. A partir de ahi no ser necesario si usas los mismos datos y mantienes la cordura. No se publicarán insultos, difamaciones o faltas de respeto hacia los lectores y comentaristas de este blog.